Istilah sahabat dalam Islam
sedemikian popular. Nabi memiliki banyak sahabat dalam mengembangkan Islam.
Ada empat sahabat nabi yang amat dikenal, yang kemudian memimpin masyarakat
Islam sepeninggal Nabi, yaitu Abu Bakar, Umar, Ustman dan Ali. Ke empat sahabat
nabi ini, menurut tarekhnya, mereka sedemikian tulus dan dekat dengan nabi.
Para sahabat itu memiliki komitmen yang amat tinggi dalam memperjuangkan
Islam. Apa saja ynag dilakukan oleh nabi, mereka ikuti dan kerjakan. Hubungan
mereka dijalin bukan atas kepentingan, melainkan atas dasar cinta terhadap
ajaran Islam yang sedemikian mulia. Atas dasar itu maka hidup dan atau mati
mereka, hanya diperuntukkan bagi perjuangan agama Allah itu. Sebaliknya,
antara sahabat dengan nabi tidak pernah terjadi konflik, salah paham, dan
sejenisnya.
Mereka itu semua adalah orang-orang yang setia, sehingga pada saat nabi masih
hidup, sekalipun sedemikian berat, perjuangan nabi selalu berhasil dengan
gemilang. Kiranya tidak bisaa dibayangkan, andaikan para sahabat tersebut,
tidak memiliki komitmen dan atau hati mereka tidak diikat oleh tali kasih
sayang yang mendalam. Mungkin nabi akan disibukkan oleh persoalan-persoalan
internal di lingkungan sahabat sendiri.
Persahabatan seperti itu, memang seharusnya bisa dicontoh oleh umatnya.
Persahabatan dalam Islam diikat oleh tali keimanan dan kasih sayang di antara
mereka. Iman selalu bersemayam di hati dan bukan hanya terletak di alam
pikiran. Iman berbeda dengan sebatas pemahaman. Jika iman berada di hati maka
pemahaman dan kesepakatan atau komitmen selalu berada di alam pikiran. Suara
hati agaknya memang berbeda dengan suara akal. Suara hati selalu didasari
oleh nilai-nilai luhur kasih sayang, sedangkan kesepakatan dan komitmen
didasari oleh kepentingan-kepentingan.
Ikatan keseimanan dan kasih sayang, tidak mengenal transaksi, pertimbangan
untung atau rugi, dan siapa mendapatkan apa. Berbeda dengan itu adalah
hubungan-hubungan rasional dan kesepahaman yang biasanya diikat oleh janji
atau MoU, maka berkemungkinan pihak-pihak tertentu, setelah mempertimbangkan
untung atau rugi, apalagi ditengarai telah terjadi suasana tidak jujur dan
tidak adil, maka kesepakatanm itu akan dibatalkan dan bahkan saling menggugat
dan membatalkan kerjasama itu.
Islam sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah, dalam membangu
persahabatan didasari oleh kecintaan pada Allah dan rasulnya. Oleh karenanya,
ikatan itu lebih konstan, mantap dan istiqomah. Persahabatan dalam Islam
dibina sepanjang waktu, baik dalam kegiatan spiritual maupun dalam kegiatan
social. Dalam kegiatan spiritual misalnya, setiap sholat selalu bacaannya
diakhiri dengan mengucap salam ke kanan dan ke kiri. Ucapan salam itu berisi
doa, memohon agar keselamatan dan rakhmat Allah selalu melimpah kepada
saudaranya sesama muslim.
Dalam kegiatan ritual, seperti dalam sholat tergambar bahwa seorang muslim
tidak hanya berharap mendapatkan keselamatan bagi dirinya sendiri dan
keluarganya, melainkan keselamatan bagi seluruh kaum muslimin. Demikian pula,
dalam berbagai doa’ yang diucapkan, kaum muslimin selalu menyempurnakan
doanya terhadap seluruh kaum muslimin dan muslimat, mukminin dan mukminat,
baik yang masih hidup maupun yang sudah mati. Persahabatan kaum muslimin,
sesungguhnya secara doktriner, diikat secara kokoh dalam waktu yang amat
panjang, baik di dunia maupun akherat. Hubungan sesame kaum muslimin,
dibangun sebagaimana sebuah bangunan rumah, antara bagian satu dengan bagian
lainnya saling memperkukuh. Selain itu juga diumpamakan bagaikan tubuh, maka
jika sebagian sakit maka yang lainnya akan merasa sakit, dan demikian juga
sebaliknya.
Hanya sayangnya konsep yang sedemikian luhur itu belum bisa direalisasikan
sepenuhnya dalam kehidupan nyata. Di antara kaum muslimin seringkali masih
saling bercerai berai. Berbagai organisasi Islam yang muncul di mana-mana,
yang semestinya antara satu dan lainnya saling memperkukuh, namun pada
kenyaannya justru sebaliknya. Antar berbagai organisasi terjadi saling
berkompetisi, konflik dan bahkan juga saling menyerang dan menjatuhkan. Lebih
ironi lagi, konflik itu tidak saja terjadi antar organisasi Islam, tetapi
justru terjadi pula di antara internal organisasi.
Sedemikian rentannya persahabatan di antara kaum muslimin, sehingga
seringkali terdengar joke, bahwa agar para iblis tidak terlalu capek menggoda
manusia, maka makhluk Allah yang dianggap paling mulia tersebut didorong saja
mendirikan organisasi dan syukur kalau organisasi yang bernuansa politik.
Jika organisasi atau partai politik itu sudah berhasil berdiri, maka
sekalipun setan tidak bekerja, maka mereka dengan sendirinya sehari-hari akan
konflik dan saling menyerang dan menjatuhkan satu dengan lainnya.
Anekdot tersebut rasanya tidak sulit dipahami dari kalangan umat Islam.
Selama ini seolah-olah ajaran Islam tidak memiliki konsep tentang persatuan
umat. Selain itu seolah-olah Islam belum menjadi faktor pemersatu, dan
sebaliknya, justru menjadi kekuatan pemecah belah umat manusia. Padahal
kenyataannya tidak begitu. Banyak hadits nabi menegaskan bahwa antara sesame
kaum muslimin adalah bagaikan saudara. Persatuan hendaknya diperkokoh. Sesama
kaum muslimin harus saling mencintai. Demikian pula al Qur’an secara tegas
melarang saling bercerai berai di antara kaum muslimin.
Perpecahan, tidak terkecuali di antara kaum muslimin, sudah menjadi hal
biasa. Maka kemudian muncul jargon-jagon pembenar terjadinya konlik, dan atau
perpecahan apalagi dalam organisasi politik. Mereka mengatakan bahwa berbeda
pendapat, konflik dan sejenisnya adalah syah-syah saja. Bahkan menganggap hal
wajar sebuah statemen yang mengatakan bahwa, persahabatan dalam politik tidak
pernah abadi. Sebaliknya, mereka mengatakan bahwa yang abadi adalah
kepentingan. Sehingga, sepanjang di antara mereka masih memiliki kepentingan
yang sama, maka kelompok itu masih bisa bersatu, dan sebaliknya akan bercerai
jika kepentingan itu tidak didapat.
Persahabatan yang dicontohkan oleh Rasulullah sesungguhnya tidak demikian.
Persahabatan itu diikat oleh kasih sayang yang mendalam, iman, dan ketaqwaan.
Kasih sayang atau saling mencintai di antara kaum muslimin harus didasarkan
atas motivasi karena Allah dan Rasulnya, dan bukan karena kepentingan
sebagaimana dalam ikatan politik itu. Negeri yang kita cintai ini, semestinya
dibangun atas dasar kecintaan kepada bangsa dan negara, dan bukan atas dasar
kepentingan golongan atau partai. Dalam Islam mencintai bangsa adalah bagian
dari keimanan seseorang. Jika demikian halnya, maka sesungguhnya tidak akan
terjadi fenomena persaingan di antara pemimpin bangsa, yang mereka itu masih
sama-sama mendapatkan amanah dari rakyat.
Memang fenomena seperti itu, menurut bahasa politik adalah syah-syah saja
dilakukan oleh siapapun. Keputusan itu tidak sedikitpun menyalahi
undang-undang atau peraturan yang ada. Akan tetapi, sesungguhnya jika ikatan
di antara itu bukan sebatas komitmen, kesepakatan atau kepentingan, melainkan
berupa tali keseimanan, kecintaan terhadap bangsa, maka semestinya para
pemimpin selalu mengambil tindakan arif dan bijak. Atas dasar kecintaannya
itu , maka masing-masing akan selalu menjaga persahabatan yang telah dibangun
atas dasar nilai-nilai mulia itu. Islam tidak mengenal istilah persahabatan
sementara, sesaat, bebas atau liberal. Tetapi dalam dunia ekonomi saja
istilah seperti itu ada, yaitu ekonomi liberal, yang juga banyak orang ternyata
tidak menyukainya. Wallahu a’lam sahabat wiwintawa***
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar